OLEH: ANDI OLDI SATRIO (Ketua BEM Hukum USN Kolaka)
Indonesia yang merupakan negara hukum dan menjunjung tinggi demokrasi seharusnya sadar bahwa kebebasaan berpendapat memainkan peran penting sebagi kuasa kritis publik atas berbagai kebijakan penguasa.namun RUUKUHP,yang semestinya menjadi pengatur termutakhir demi semua justru mengacaukannya dan seolah tidak dapat menjanjikan hal tersebut malah menjadi alat untuk membungkam rakyat dan mempermulus berjalannya politik antikritik
Rancangan kitab undang-undang hukum pidana(RUUKUHP) kembali memunculkan polemik salah satu ketentuan bermasalhnya tercermin dari rumusan norma pasal penghinaan terhadap presiden (pasal 218-pasal 219)dan penghinaan terhadap lembaga negara (pasal 353-pasal 354),padahal Mahkama Konstitusi telah memumutuskan bahwa pasal penghinaan terhadap presdiden dan wakil presiden dalam KUHP bersifat inkonstitutional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan MK no. 013-022/puu-iv/2006.menurut MK, terdapat beberapa permasalahan dalam pasal penghinaan presiden,yakni menegaskan prinsip persamaan di depan hukum,menimbulkan ketidak pastian hukum,dan mengurangi kebebasan pikiran pendapat,serta kebebasan akan informasi.jadi,apakah RUUKUHP ini merupakan alat reformasi hukum pidana yang sudah lama kita nantikan atau merupakan alat politik ANTIKRITIK.
Pemerintahan menyatakan bahwa pasal pasal ini ada untuk membuat batasan kepada kebebasan berpendapat agar tidak menimbulkan ANARKI. Akan tetapi hak rakyat untuk menyatakan pikiran,sikap dan pendapat sejatinya telah diatur dalam pasal 28e ayat (2) dan ayat (3) undang-undang 1945.oleh karena itu, pasal 218 ayat (1) dan pasal 219 RUUKUHP malah menentang jaminan terhadap hak yang telah diatur dalam konstitusi terakhir, tidak terdapat parameter yang jelas dalam rasa “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat” dan rentang multitafsir sehingga timbul ketidakpastian hukum.
Pasal ini dihidupkan kembali dengan dalih “delik aduan” (pasal 220). Dengan kata lain, pasal ini hanya bisa digunakan jika korban (presiden/melapor atau dengan menggunakan surat kuasa dari presiden/wakil presiden. Namun,sejatinya perubahan delik ini menjadi “DELIK ADUAN” juga tidak serta merta mengoreksi alasan-alasan pembatalan yang telah diputuskan oleh MK karena keberadaan pasal ini tetap menegaskan persamaan didepan hukum.ketidak jelasan devinisi “PENGHINAAN” juga tetap menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menjadi ancaman bagi kebeasan berpendapat.
Pembaruan terhadap aturan hukum pidana di indonesia memang memiliki banyak urgensi,tetapi rancangan RUUKUHP saat ini nampaknya malah menguatkan posisi pemerintah sebagai pihak penguasa yang antikritik dengan demikian pembaruan hukum tersebut tidak menghasilkan kemajuan tetapi menunjukkan kemunduran pembaruan KUHP ini seharusnya menjadi alat revormasi hukum pidana indonesia yang mencerminkan semangat dekolonisasi,bukan untuk memunculkan sifat “PENJAJAH” yang justru ditunjukkan oleh negara sendiri setiap pasalnya juga tidak boleh memiliki substansi yang memiliki potensi untuk ditafsirkan secara luas dan disalah gunakan. Namun sayang pasal-pasal yang terkandung dalam draf terbaru RUU KUHP ini masih tidak jelas dan cenderung terllihat sebagai upaya pemerintah untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berpendapat rakyat.